Sabtu, 14 Februari 2009

Zaman Jepang

Categories: ,

Zaman Paleolitik Jepang

Zaman Paleolitik Jepang (日本の旧石器時代, nihon no kyū sekki jidai?) adalah zaman yang dimulai ketika manusia mulai bertempat tinggal di kepulauan Jepang mungkin sekitar 30.000 tahun lalu atau 100.000 tahun lalu berdasarkan bukti barang peninggalan berupa alat dari batu, dan diakhiri dengan dimulainya zaman Jomon di akhir zaman Pleistosen.

Keadaan alam

Pada periode terdingin zaman Es ketika permukaan laut menjadi 100-120 meter lebih rendah, kepulauan Jepang mungkin beberapa kali pernah menjadi satu dengan daratan Asia. Kedalaman laut Selat Korea yang memisahkan Jepang dan Korea dan Selat Tsugaru yang memisahkan pulau Honshu dan Hokkaido adalah sekitar 140 meter, sehingga pendapat kepulauan Jepang pernah menjadi satu dengan daratan Asia masih mengundang kontroversi.

Zaman Jomon

Zaman Jōmon (縄文時代, jōmon jidai?) adalah sebutan zaman prasejarah kepulauan Jepang yang dimulai dari akhir zaman Pleistosen hingga zaman Holosen, bersamaan dengan zaman batu pertengahan atau zaman Batu Baru yang ditandai dengan mulai digunakannya barang-barang tembikar. Okinawa berada pada zaman tumpukan kulit kerang ketika kepulauan Jepang yang lain berada pada zaman Jōmon.

Kegiatan manusia pada zaman Jōmon dalam mencari makanan bergantung pada tempat tinggalnya. Manusia yang tinggal di daerah yang diberkahi kekayaan sumber alam mencari makan sebagai pemburu dan pengumpul jenis tanaman yang bisa dimakan. Manusia zaman Jōmon mulai mengenal kebudayaan tembikar yang bersifat artistik. Ada kecenderungan kebudayaan Jōmon lebih berkembang di Jepang bagian timur berdasarkan jumlah situs penggalian dan beragam jenis barang tembikar yang berhasil ditemukan.

Zaman Yayoi

Zaman Yayoi (弥生時代, yayoi jidai?) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang mengacu pada Jepang (dengan perkecualian Hokkaido) di abad ke-8 sebelum Masehi hingga abad ke-3 Masehi. Ciri khas pada barang peninggalan berupa tembikar gaya zaman Yayoi dan penguasaan teknik penanaman padi di sawah. Barang-barang peninggalan dari zaman ini pertama kali ditemukan di situs penggalian tumpukan kulit kerang di Yayoi-cho (sekarang distrik Bunkyō di Tokyo) sehingga dinamakan zaman Yayoi. Kebudayaan zaman Yayoi berkembang dari pulau Kyushu sampai sebelah timur pulau Honshu.

Sejalan dengan kemajuan dalam bidang pertanian dikenal perbedaan kelas dan perbedaan kaya miskin yang melahirkan pengelompokkan wilayah yang bisa disebut sebagai bentuk awal negara yang dikenal dengan sebutan Kuni (negara-negara kecil).

Perebutan air dan tanah untuk memperluas penanaman padi di sawah menumbuhkan permukiman penduduk, wilayah terbentuk sebagai hasil perang antar desa, usaha perluasan wilayah dan penguasaan daerah menimbulkan perang antar negara-negara kecil yang meluas di seluruh kepulauan Jepang. Pada waktu itu berhasil terbentuk negara-negara kecil berdasarkan daerah seperti Kyushu bagian utara , Kibi, San-in, Kinki, Tōkai, dan Kanto. Pertempuran untuk mencari sekutu dan menyatukan wilayah kekuasaan yang terjadi berulang-ulang kali merupakan proses untuk membentuk negara Jepang zaman kuno.

Zaman Yamato

Zaman Yamato (大和時代, yamato jidai?) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang dimulai sekitar abad ke-4 sampai abad ke-6. Kadang-kadang zaman Asuka (pertengahan hingga akhir abad ke-6 sampai abad ke-7) juga dimasukkan ke dalam zaman Yamato. Zaman Yamato berada di tengah-tengah zaman Yayoi dan zaman Nara. Zaman ini ditandai dukungan terhadap tahta Yamato yang semakin kuat dan pembangunan Kofun yang berkelanjutan di berbagai tempat.

Istilah zaman Yamato sudah jarang dipakai lagi, sebagai gantinya lebih umum digunakan istilah zaman Kofun dan zaman Asuka.

Pada masa awal zaman Yamato, penguasa Jepang adalah pemimpin lokal seperti klan Ōtomo, klan Mononobe dan klan Soga. Kekuasaan pemerintah kemudian berada di tangan kaisar setelah Reformasi Taika (645) dan dikeluarkannya Konstitusi Tujuh Belas Pasal (十七条憲法, Jūshichijō kempō?) yang disusun Pangeran Shōtoku, sistem Dua Belas Jenjang Pangkat Istana (冠位十二階, Kan-i jūnikai?).

Sistem politik berdasarkan sistem hukum Ritsuryō mulai diperkenalkan pada saat ini, istana kaisar memperbarui sistem nama klan dan nama keluarga (氏姓制度, shisei seido?), memberlakukan sistem pajak terpadu, dan tanah milik bangsawan semuanya diklaim sebagai milik kaisar (Kōchi Kōmin-sei), dan memperbarui organisasi pemerintahan daerah ke arah pemerintah sentralisasi.

Pada awal pertengahan abad ke-6, agama Buddha masuk ke Jepang dari semenanjung Korea. Jepang juga mengirim diplomat utusan ke Dinasti Sui dan Dinasti Tang di Tiongkok. Pada zaman ini berkembang pengaruh budaya Tiongkok dalam bidang seni agama Buddha dan teknik seperti teknik pertanian, penempaan besi, dan arsitektur.

Zaman Kofun

Zaman Kofun (古墳時代, kofun jidai?) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang dimulai pada pertengahan-akhir abad ke-3 sampai sekitar abad ke-7. Pada buku sejarah tempo dulu, zaman Kofun dan zaman Asuka pernah disatukan menjadi zaman Yamato, tapi dalam buku sejarah modern kedua zaman ini dianggap sebagai dua zaman yang terpisah.

Kofun adalah makam kaisar atau bangsawan dengan tanah yang dibuat membukit yang menempati lokasi yang berbentuk perpaduan lingkaran dan persegi empat seperti lubang kunci. Ciri khas zaman Kofun adalah pembangunan Kofun secara terus menerus selama 300 tahun di banyak tempat di Jepang.

Pada zaman Kofun terjadi berkali-kali perang perebutan kekuasaan yang sengit, berbagai macam cara kotor, tipu muslihat dan strategi digunakan untuk dapat berkuasa. Calon penguasa yang merasa lebih kuat tanpa ragu-ragu menyingkirkan semua penghalang termasuk membunuh saudara tiri atau saudara kandung. Pada zaman Kofun teknik irigasi untuk pengairan sawah berkembang dengan pesat.

Zaman Asuka

Zaman Asuka (飛鳥時代, asuka jidai?) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang permulaannya bertumpang tindih dengan akhir zaman Kofun, mulai akhir abad ke-6 hingga awal abad ke-8 ketika istana kaisar dan ibu kota berada di Asuka (sekarang Prefektur Nara).

Pada buku sejarah tempo dulu, zaman Kofun dan zaman Asuka pernah disatukan menjadi zaman Yamato. Kebudayaan Asuka mencapai puncaknya pada zaman kaisar Suiko, sedangkan kebudayaan Hakuhō mencapai puncaknya pada zaman kaisar Tenmu dan kaisar wanita Jitō.

Pada zaman ini, nama negara diganti dari Yamato atau Wa menjadi Nihon atau Nippon.

Zaman Nara

Zaman Nara (奈良時代, nara jidai?) (710 - 794) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang dimulai ketika kaisar wanita Genmei memindahkan ibu kota kekaisaran ke Heijō-kyō (Nara) pada tahun 710, berlangsung selama 84 tahun hingga kaisar Kanmu memindahkan ibu kota ke Heian-kyō pada tahun 794.

Fujiwara Nofuhito dianggap berperan besar dalam pemindahan ibu kota ke Nara. Nara dibangun mengikuti ibu kota Tiongkok di Chang'an. Nara dirancang sebagai kota pemerintahan dengan sebagian besar penduduknya merupakan pegawai pemerintah.

Sistem hukum Asuka kiyomihara dan Taiho ritsuryō yang mulai diberlakukan zaman sebelumnya dikaji kembali dan direvisi agar isinya sesuai dengan keadaan dalam negeri Jepang. Walaupun pelaksanaannya masih dalam tahap coba-coba, pada zaman ini Jepang sudah bertujuan menjadi negara hukum, sistem pemerintahan pusat dengan kekuasaan otokrasi di tangan kaisar.

Zaman Heian

Zaman Heian (平安時代, heian jidai?) (794 - sekitar 1185) adalah salah satu zaman dalam pembagian periode sejarah Jepang yang berlangsung selama 390 tahun, dimulai dari tahun 794 ketika kaisar Kanmu memindahkan ibu kota ke Heian-kyō hingga dibentuknya pemerintah Keshogunan Kamakura sekitar tahun 1185.

Zaman Kamakura

Zaman Kamakura (鎌倉時代, kamakura jidai?) (sekitar 1185 sekitar 1333) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang ketika pemerintahan militer (keshogunan) terletak di Sagami Kamakura, sehingga zaman ini dinamakan zaman Kamakura.

Ada perbedaan pendapat tentang tahun terbentuknya keshogunan Kamakura. Pendapat yang populer mengatakan zaman Kamakura dimulai tahun 1192 ketika Minamoto no Yoritomo ditunjuk sebagai Seitaishogun dan membentuk pemerintah Kamakura. Pendapat lain mengatakan zaman Kamakura dimulai tahun 1180 ketika Minamoto no Yoritomo menyerang klan Taira.

Restorasi Kemmu

Restorasi Kemmu (建武の新政, Kemmu no shinsei?, Pemerintah baru Kemmu) adalah periode sejarah Jepang yang berlangsung antara tahun 1333 hingga 1336. Setelah runtuhnya Keshogunan Kamakura, Kaisar Go-Daigo kembali bertahta pada tahun 1333, dan mendirikan pemerintah baru dengan kekuasaan yang terpusat di tangan kaisar. Kemmu adalah nama zaman baru yang dimulai tahun 1334. Istilah "Restorasi Kemmu" merupakan terjemahan dari istilah serupa, Kemmu no Chūkō (建武の中興, Restorasi Kemmu?) yang digunakan di Jepang hingga sebelum Perang Dunia II. Sebagian sejarawan juga menyebut periode ini sebagai periode Pemerintah Kemmu (建武政権, Kemmu seiken?).

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan otokrasi dijalankan Kaisar Go-Daigo melanda kalangan samurai. Pemerintah Kaisar Go-Daigo akhirnya ditumbangkan Ashikaga Takauji pada tahun 1336 yang sekaligus menandai berakhirnya periode Restorasi Kemmu.

Latar belakang

Keruntuhan Keshogunan Kamakura

Sepanjang paruh kedua zaman Kamakura, pemerintah Keshogunan Kamakura berada di tangan keluarga Tokusō dari klan Hōjō, sedangkan kekuasaan berada di tangan klan Nagasaki yang menjabat Naikanrei (pelayan klan Hōjō). Sejak peristiwa invasi Mongolia terhadap Jepang (1274 dan 1281), situasi politik dalam negeri menjadi tidak stabil. Kelompok antipemerintah mulai bergerak di berbagai provinsi. Keshogunan secara bertahap juga mulai kehilangan dukungan dari kalangan samurai. Keshogunan Kamakura memberlakukan sistem Ryōtōtetsuritsu yang menetapkan kaisar dari garis keturunan Daikaku-ji dan garis keturunan Jimyō-in dapat naik tahta secara bergantian. Pada tahun 1318, Kaisar Go-Daigo yang berasal dari garis keturunan Daikaku-ji naik tahta. Kaisar Go-Daigo menginginkan kembalinya sistem pemerintahan yang kekuasaannya secara langsung berada di tangan kaisar seperti rezim Engi-Tenryaku yang dijalankan Kaisar Murakami dan Kaisar Daigo di zaman Heian. Secara diam-diam, Kaisar Go-Daigo bermaksud menumbangkan Keshogunan Kamakura.

Rencana Kaisar Go-Daigo menumbangkan keshogunan terbongkar hingga dua kali: Insiden Shōchū tahun 1324 dan Insiden Genkō tahun 1331. Setelah terjadinya Insiden Genkō, Kaisar Go-Daigo ditangkap dan diasingkan ke Pulau Oki (1331). Sebagai penggantinya, Keshogunan Kamakura mengangkat Kaisar Kōgon dari garis keturunan Jimyō-in sebagai kaisar yang baru.

Sementara itu, Keshogunan Kamakura harus menghadapi perlawanan yang dipimpin Akamatsu Norimura (Akamatsu Enshin) dari Harima dan Kusunoki Masashige dari Kawachi (sekutu Kaisar Go-Daigo dalam menumbangkan keshogunan). Norimura merupakan pendukung Pangeran Morinaga (putra Kaisar Go-Daigo) yang baru kembali ke istana setelah menjalani kehidupan sebagai biksu. Kekuatan militer untuk menumbangkan keshogunan mulai terkumpul di berbagai provinsi, setelah membelotnya dua orang gokenin yang berasal dari keshogunan, Nitta Yoshisada dari Kōzuke, dan Ashikaga Takauji dari Shimotsuke.

Pada tahun 1333, Kaisar Go-Daigo meloloskan diri dari Pulau Oki, dan dijemput Nawa Nagatoshi yang berasal Provinsi Hōki. Perlawanan untuk menumbangkan keshogunan dipimpin Kaisar Go-Daigo dari Gunung Senjō, Provinsi Hōki. Pasukan Ashikaga Takauji menghancurkan Rokuhara Tandai di Kyoto. Sementara itu, Nitta Yoshisada menyerang Kamakura dan menewaskan Hōjō Takatoki beserta anggota keluarga klan Hōjō. Setelah Keshogunan Kamakura tumbang, klan Akamatsu dan klan Kusunoki menjemput Kaisar Go-Daigo untuk kembali menduduki tahta kekaisaran di Kyoto.

Pemerintah baru Kaisar Go-Daigo

Kaisar Go-Daigo menurunkan Kaisar Kōgon dari tahta, dan kembali bertahta sebagai kaisar. Kaisar Go-Daigo menyatakan nama zaman yang digunakan Kaisar Kōgon tidak berlaku lagi. Takasukasa Fuyunori dipecat dari jabatannya sebagai Kampaku, dan jabatan Kampaku dihapus.

Di ibu kota, Ashikaga Takauji yang berjasa memimpin penyerbuan ke Rokuhara bersama Pangeran Morinaga meminta masing-masing pemerintah provinsi untuk mengirimkan pasukan untuk mengamankan Kyoto. Sementara itu, Kaisar Go-Daigo mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Chinjufu Shōgun. Pangeran Morinaga yang cemas terhadap kekuatan Ashikaga Takauji mengundurkan diri ke Gunung Sigi di Nara, dan mulai membatasi ruang gerak Takauji dan pengikutnya. Sebagai tindakan kompromi, Kaisar Go-Daigo mengangkat Pangeran Morinaga sebagai Sei-i Taishogun.

Sepanjang tahun 1333, Kaisar Go-Daigo mengeluarkan berbagai perintah kaisar mengenai hak kepemilikan tanah dan proses peradilan yang terkait, seperti peniadaan semua tanah feodal (Kyūryō Kaifuku-rei), penyitaan tanah milik kuil, penyitaan tanah musuh kaisar, dan keputusan pengadilan sehubungan dengan perselisihan tanah semata-mata berada di tangan kaisar. Pada pertengahan tahun 1333, Kaisar Go-Daigo menetapkan bahwa hanya seluruh anggota klan Hōjō yang dianggap sebagai musuh kaisar, sedangkan pemeliharan ketertiban di daerah dipercayakan kepada pejabat kokushi.

Selain itu, Kaisar Go-Daigo mendirikan lembaga peninjauan keputusan kebijakan yang diambil pemerintah (Kiroku-jo), lembaga urusan pemberian hadiah balas jasa (Onjō-kata), dan lembaga peradilan perkara agraria (Zasso Ketsudansho). Dalam usaha memperkuat kekuasaan kaisar di wilayah Kanto hingga wilayah Tohoku, Kaisar Go-Daigo menugaskan Kitabatake Akiie ke Provinsi Mutsu sebagai pendamping militer Pangeran Noriyoshi. Akiie juga diangkat sebagai Chinjufu Shogun sekaligus penguasa Mutsu (Mutsu no Kami). Penugasan Akiie ke Mutsu ditemani ayahnya, Kitabatake Chikafusa, dan keduanya mendirikan kantor regional shogun Mutsu (Mutsu Shōgunfu). Pada awal tahun 1334, adik Ashikaga Takauji, Ashikaga Tadayoshi ditugaskan sebagai pendamping militer bagi Pangeran Narinaga (putra Kaisar Go-Daigo), dan pergi bersamanya ke Kamakura untuk mendirikan kantor regional shogun Kamakura (Kamakura Shōgunfu).

Pangeran Tsunenaga dari ibu bernama Ano Yasuko diangkat sebagai putra mahkota dalam upacara yang berlangsung pada hari tahun baru 1334. Selain itu, nama zaman diganti menjadi zaman Kemmu. Pemerintah baru Kaisar Go-Daigo melakukan sensus agraria. Sensus tersebut dilakukan sehubungan dengan rencana pemungutan pajak baru yang besarnya 5 persen. Uang hasil pajak menurut rencana digunakan untuk membangun istana kaisar yang baru. Kaisar Go-Daigo memiliki rencana mengeluarkan uang kertas baru (disebut Chohei) dan uang logam baru. Selain itu, pemerintah bermaksud mengeluarkan mata uang baru (disebut Kenkon Tsūhō) dan surat perintah untuk itu sudah dikeluarkan, namun hingga sekarang surat tersebut belum ditemukan. Masalah yang dihadapi pemerintah baru Kaisar Go-Daigo akhirnya terungkap ke permukaan. Wewenang masing-masing lembaga pemerintah yang baru didirikan (seperti Kiroku-jo) ternyata saling bertabrakan, dan mulai timbul kekacauan. Lembaga-lembaga tersebut kewalahan dalam menghadapi klaim serta tuntutan atas kepemilikan tanah, dan permintaan hadiah tanda jasa sesuai perintah yang dikeluarkan Kaisar Go-Daigo.

Dalam usaha sentralisasi pemerintahan, Kaisar Go-Daigo menghapus sejumlah jabatan di daerah. Selain itu, Kaisar Go-Daigo memecat Pangeran Morinaga dari jabatannya sebagai shogun. Setelah dituduh berniat menggulingkan Ashikaga Takauji, Pangeran Morinaga ditangkap dan diasingkan ke Kamakura.
Keruntuhan pemerintah baru

Pertengahan tahun 1335, pejabat kuge Saionji Kinmunedan kawan-kawan terungkap bersengkongkol untuk menggulingkan pemerintah. Mantan Kaisar Go-Fushimi dari garis keturunan Jimyō-in diduga berada di balik persengkongkolan ini. Saionji Kinmune masih memiliki hubungan dengan klan Hōjō, dan menyembunyikan Hōjō Yasuie (adik Hōjō Takatoki). Pada akhirnya, Kinmune dihukum mati karena usaha pembunuhan Kaisar Go-Daigo yang gagal, sedangkan Hōjō Yasuie melarikan diri dan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan klan Hōjō di daerah.

Setelah runtuhnya Keshogunan Kamakura, di berbagai daerah marak dengan kegiatan pemberontak, khususnya di provinsi yang dulunya diperintah klan Hōjō. Di Provinsi Shinano terjadi pemberontakan yang dipimpin Hōjō Tokiyuki (putra almarhum Hōjō Takatoki) bersama sang paman, Hōjō Yasuie. Keduanya berhasil menduduki Kamakura, dan mengusir penguasa Kamakura, Ashikaga Tadayoshi dalam peristiwa yang disebut Pemberontakan Nakasendai.

Ashikaga Takauji ingin berangkat ke Kamakura untuk memadamkan pemberontakan. Takauji meminta Kaisar Go-Daigo untuk mengangkatnya sebagai Sei-i Taishogun dan mengeluarkan perintah penangkapan atas Hōjō Tokiyuki. Kaisar Go-Daigo tidak mengabulkan permintaan Takauji, dan justru mengangkat Pangeran Narinaga sebagai Sei-i Taishogun.

Takauji tetap berangkat Kamakura walaupun tidak mendapat surat perintah dari kaisar. Kaisar Go-Daigo akhirnya mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Seitō Shōgun. Di Kamakura, Pasukan Ashikaga berhasil mengusir pasukan Hōjō Tokiyuki, tapi Ashikaga Takauji terus menduduki Kamakura dan tidak mau kembali ke Kyoto. Takauji membangkang surat perintah Kaisar Go-Daigo yang memerintahkannya kembali ke Kyoto. Dengan caranya sendiri, Takauji memberi hadiah kepada samurai yang menjadi anak buahnya. Tanah milik klan Nitta di wilayah Kanto disitanya dengan sewenang-wenang dan dibagi-bagikan kepada anak buahnya. Dalam pernyataannya, Takauji mengatakan bahwa di antara samurai yang setia terhadap kaisar, Nitta Yoshisada (kepala kantor prajurit Mushadokoro) yang memiliki kekuatan militer yang terbesar adalah pihak yang berbahaya bagi kaisar. Berdasarkan alasan tersebut, Takauji meminta izin Kaisar Go-Daido untuk menghancurkan Nitta Yoshisada dan pengikutnya.

Permintaan Takauji tidak dikabulkan Kaisar Go-Daigo. Sebaliknya, Kaisar Go-Daigo mengirimkan Nitta Yoshisada dan pasukan untuk menghabisi Takauji. Namun pasukan Nitta justru mengalami kekalahan besar dalam pertempuran melawan pasukan Ashikaga. Bulan pertama tahun 1336, pasukan Ashikaga memasuki Kyoto, sedangkan Kaisar Go-Daigo melarikan diri ke Gunung Hiei. Namun, Takauji dan pasukan Ashikaga kembali diusir untuk sementara dari Kyoto oleh Nitta Yoshisada dengan bantuan Kitabatake Akiie dan pasukan yang diturunkan dari Ōshu. Ashikaga Takauji dan pasukannya mengundurkan diri hingga ke Kyushu, namun kembali memberangkatkan pasukan ke Kyoto setelah menerima perintah mantan Kaisar Kōgon (dari garis keturunan Jimyō-in). Setelah pasukan kekaisaran takluk dalam Pertempuran Minatogawa di Provinsi Harima, pasukan Ashikaga kembali berhasil merebut ibu kota Kyoto, dan sekaligus menandai berakhirnya periode Restorasi Kemmu yang berlangsung selama dua setengah tahun.

Setelah menguasai Kyoto, Ashikaga Takauji mendirikan Istana Utara (Hokuchō) di Kyoto dengan Kaisar Kōmyō sebagai kaisar. Di pihak yang berlawanan, Kaisar Go-Daigo mengutus putranya, Pangeran Kaneyoshi ke Kyushu sebagai Seisei Shōgun, dan menugaskan Nitta Yoshisada ke Hokuriku di bawah komando Pangeran Tsunenaga dan Pangeran Takanaga. Selanjutnya, Kaisar Go-Daigo turun dari Gunung Hiei, dan berdamai dengan pihak Ashikaga. Tiga Harta Suci diserahkannya kepada Kaisar Kōmyō. Namun Kaisar Go-Daigo meloloskan diri dari Kyoto, dan mendirikan Istana Selatan (Nanchō) di Nara. Kaisar Go-Daigo menyatakan Tiga Harta Suci yang berada di tangan Kaisar Kōmyō sebagai barang palsu, dan mengklaim dirinya sebagai kaisar yang sah. Masa Jepang terbelah dua menjadi Istana Selatan dan Istana Utara disebut zaman Nanboku-cho (zaman Istana Utara-Istana Selatan) yang berlangsung sekitar 60 tahun hingga bersatunya Istana Selatan dengan Istana Utara pada tahun 1392.

Zaman Muromachi

Zaman Muromachi (室町時代, muromachi jidai?) atau zaman Keshogunan Ashikaga (sekitar 1338 - sekitar 1573) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang ketika keshogunan Ashikaga yang juga dikenal sebagai Keshogunan Muromachi berkuasa di Jepang. Pemerintah Ashikaga berpusat di Muromachi, Kyoto sehingga disebut Keshogunan Muromachi.

Pada tahun 1336, Ashikaga Takauji mendirikan Keshogunan Muromachi (Istana Utara) sebagai tandingan kaisar Godaigo dari Istana Selatan. Terpecahnya kekaisaran menjadi Istana Utara-Istana Selatan berlangsung sampai Istana Selatan ditaklukkan Istana Utara pada tahun 1392.

Kedudukan kaum bushi berada di atas kedudukan kaisar setelah Istana Utara berhasil menundukkan Istana Selatan, tapi kondisi keuangan dan kondisi militer Keshogunan Ashikaga menjadi lemah akibat perang berkepanjangan. Pergolakan di dalam klan Ashikaga yang disebut Peristiwa Meiōnoseihen merupakan awal zaman Sengoku yang penuh intrik, perebutan kekuasaan, kerusuhan, dan dihapuskannya sistem tanah milik bangsawan.

Zaman Nanboku-cho

Zaman Nanboku-cho (南北朝時代, Namboku-chō Jidai?) atau zaman Istana Utara-Istana Selatan (1336-1392) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang di awal zaman Muromachi. Istilah zaman Nanboku-cho biasanya dipakai untuk menyebut periode antara tahun 1336-1392 ketika pemerintah dan kekaisaran Jepang terbelah dua menjadi Istana Selatan (Yamato no Kuni Yoshino Angū, atau Istana Sementara Yoshino) dan Istana Utara di Kyoto (Yamashiro no Kuni Heian-kyō). Kedua belah pihak masing-masing mengklaim sebagai pemegang tahta yang sah. Walaupun demikian, Perang Genkō yang menandai kejatuhan Keshogunan Kamakura (1331-1333) dan Restorasi Kemmu (1333-1336) sering dikatakan terjadi pada zaman Nanboku-cho.

Pada tahun 1336, shogun Ashikaga Takauji mendirikan Istana Utara (Hokuchō) di Kyoto dengan Kaisar Kōmyō sebagai kaisar. Sementara itu, Kaisar Godaigo mendirikan Istana Selatan (Nanchō) dalam pengungsian di Yoshino. Zaman Nanboku-cho berakhir ketika Istana Selatan bersatu dengan Istana Utara pada tahun 1392.

Sejarah

Pendirian Istana Utara-Istana Selatan

Setelah Kaisar Go-Saga turun tahta pada tahun 1246, keluarga kekaisaran terbelit masalah suksesi, dan terbelah dua menjadi faksi/garis keturunan Jimyō-in dan faksi/garis keturunan Daikaku-ji. Masing-masing faksi dipimpin putra Kaisar Go-Saga. Faksi Jimyō-in merupakan pendukung kaisar ke-89 Kaisar Go-Fukakusa (bertahta 1246-1259), sedangkan faksi Daikaku-ji merupakan pendukung kaisar ke-90 Kaisar Kameyama (bertahta 1259-1274). Berperan sebagai penengah, Keshogunan Kamakura menggunakan sistem Ryōtōtetsuritsu (kaisar dari masing-masing faksi/garis keturunan dapat naik tahta secara bergantian).

Pada tahun 1333, Kaisar Go-Daigo dari faksi Daikaku-ji mengeluarkan perintah kaisar agar samurai di seluruh negeri bergerak menumbangkan keshogunan. Keshogunan Kamakura akhirnya tumbang akibat perlawanan yang dipimpin Ashikaga Takauji dan Nitta Yoshisada. Kaisar Go-Daigo kemudian menjalankan kediktatoran kaisar dalam pemerintahan yang bersifat otokrasi. Kaisar Go-Daigo mengganti nama zaman menjadi zaman Kemmu, sehingga periode tersebut dinamakan Restorasi Kemmu. Namun ternyata pemerintahan Kaisar Go-Daigo hanya menghasilkan kekacauan politik. Pihak samurai yang berjasa menumbangkan Keshogunan Kamakura merasa tidak puas atas penghargaan dan hadiah yang diterima dari istana.

Ashikaga Takauji yang berangkat untuk memadamkan Pemberontakan Nakasendai ternyata berubah menjadi pembelot. Takauji mendapat dukungan dari kalangan samurai yang merasa tidak puas terhadap kaisar. Sebagai akibatnya, Kaisar Go-Daigo memerintahkan Nitta Yoshisada dan Kitabatake Akiie untuk membunuh Ashikaga Takauji. Pasukan Nitta ditaklukkan pasukan Ashikaga dalam Pertempuran Hakone-Takenoshita. Namun, pasukan Ashikaga yang memasuki ibu kota Kyoto berhasil diusir pasukan Kitabatake yang diturunkan dari Provinsi Mutsu. Ashikaga Takauji dan pasukannya dipaksa mundur sampai ke Kyushu.

Pada tahun 1336, Pasukan Ashikaga menaklukkan pasukan kekaisaran dalam Pertempuran Tatarahama di Kyushu. Kemenangan ini menjadikan Pulau Kyushu berada di bawah kekuasaan pasukan Ashikaga. Tahun berikutnya, setelah menerima perintah Kaisar Kōgon yang berasal dari faksi Jimyō-in, pasukan Ashikaga bergerak maju menuju Kyoto. Dalam Pertempuran Minatogawa, pasukan kekaisaran yang terdiri dari pasukan Nitta Yoshisada dan Kusunoki Masashige dikalahkan pasukan Ashikaga, sedangkan sisanya bertahan dan terkepung di Gunung Hiei. Perdamaian tercapai untuk sementara waktu antara Kaisar Go-Daigo dan Ashikaga Takauji. Setelah merampas Tiga Harta Suci dari kaisar, Ashikaga Takauji mendirikan kekaisaran Istana Utara (Hokuchō) di Kyoto dengan Kaisar Komyō sebagai kaisar yang baru.

Kaisar Go-Daigo melarikan diri ke Yoshino. Tiga Harta Suci yang diserahkan kepada pihak Istana Utara menurut Kaisar Go-Daigo adalah barang palsu, sehingga Istana Utara diklaim sebagai bukan pemerintah yang sah. Pemerintahan tandingan yang didirikan Kaisar Go-Daigo di Yoshino disebut Istana Selatan (Nanchō) atau Istana Yoshino. Istana Selatan mengutus para pangeran untuk pergi ke daerah Hokuriku dan Kyushu untuk memperkuat klaim bahwa Istana Selatan adalah tahta yang sah.

Masih di tahun 1336, Ashikaga Takauji menetapkan Kemmu Shikimoku (Undang-undang Kemmu) yang merupakan prinsip dasar bagi kebijakan pemerintah keshogunan. Selain itu, Kemmu Shikimoku dijadikan landasan bagi Ashikaga Takauji untuk mendirikan pemerintahan baru yang disebut Keshogunan Muromachi. Selanjutnya pada tahun 1338, Istana Utara mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Seii Taishogun. Pengangkatan ini menjadikannya sebagai shogun pertama Keshogunan Muromachi.

Kemunduran Istana Selatan

Kekuatan Istana Selatan semakin melemah setelah sejumlah panglima militer Istana Selatan gugur secara berturut-turut hingga tahun 1338. Nawa Nagatoshi, Yūki Chikamitsu, Chigusa Tadaaki, dan Kitabatake Akiie, serta Nitta Yoshisada semuanya tewas. Di pihak yang berseberangan, kekuatan militer Istana Utara jauh mengungguli kekuatan militer Istana Selatan. Dalam Pertempuran Shijōnawate 1348, kakak beradik Kusunoki Masatsura-Kusunoki Masatoki (putra Kusunoki Masashige) yang memimpin pasukan Istana Selatan tewas dibunuh Kō no Moronao dari pihak Ashikaga. Pertempuran ini menyebabkan Istana Yoshino jatuh ke tangan musuh. Kaisar Go-Murakami dan para pengikut Istana Selatan melarikan diri ke Anō (sekarang kota Gojō, Prefektur Nara) untuk menutup-nutupi kemerosotan Istana Selatan.

Selanjutnya, perseteruan terjadi antara Ashikaga Tadayoshi (adik Ashikaga Takauji yang ditugaskan sebagai pemimpin pemerintahan) dan Kō no Moronao yang menjabat pengurus klan Ashikaga. Konflik di antara keduanya berpuncak pada zaman Kan-ō (Kannō) menjadi perang saudara yang disebut Kerusuhan zaman Kannō (Kannō no Jōran). Tadayoshi yang tersisih dalam persaingan politik membelot ke pihak Istana Selatan. Putra Ashikaga Takauji bernama Ashikaga Tadafuyu yang dijadikan putra angkat oleh Tadayoshi mengikuti jejak ayah angkatnya, dan membelot ke Istana Selatan. Setelah melarikan diri, Tadafuyu memulai perlawanan dari Kyushu. Kekuatan Istana Selatan mulai pulih setelah pihak yang ikut memperebutkan ibu kota Kyoto semakin banyak. Sejumlah shugo, termasuk Yamana Tokiuji ikut bergabung dan bertempur di pihak Istana Selatan. Kaisar Go-Murakami pindah ke Istana Suminoe (Suminoe-den), atau disebut Istana Shōin (Shōin-den). Istana Suminoe merupakan milik klan Tsumori yang turun-temurun menjadi gūji (kepala pendeta) di kuil Sumiyoshi Taisha yang merupakan pendukung Istana Selatan. Istana Suminoe sewaktu dijadikan markas pihak Istana Selatan disebut Istana Sementara Sumiyoshi (Sumiyoshi Angū). Lokasinya sekarang terletak di distrik Sumiyoshi, Osaka.

Pada tahun 1351, Ashikaga Takauji untuk sementara menyerah kepada Istana Selatan sebagai strateginya dalam menghadapi faksi Ashikaga Tadayoshi. Nama zaman yang digunakan Istana Utara untuk sementara diganti menjadi zaman Shōhei seperti nama zaman yang sedang digunakan Istana Selatan. Pihak militer Istana Selatan memanfaatkan kesempatan untuk bergerak maju ke Kyoto, dan menghantam Ashikaga Yoshiakira. Kyoto jatuh ke tangan Istana Selatan, dan Tiga Harta Suci berhasil dirampas kembali. Sebagai pembalasan, Yoshiakira menghidupkan kembali nama zaman yang digunakan Istana Utara, dan bermaksud merebut kembali Kyoto. Namun ketika mundur dari Kyoto, Istana Selatan menculik Kaisar Kōgon dan Kaisar Kōmyō yang keduanya sudah pensiun (Daijō Tennō), serta Kaisar Sukō (putra Kaisar Kōgon) yang baru saja turun tahta. Ketiga mantan kaisar tersebut dibawa dengan paksa ke Anō. Akibatnya, Kaisar Go-Kōgon (adik Kaisar Sukō, putra Kaisar Kōgon) dari Istana Utara harus naik tahta tanpa adanya Tiga Harta Suci yang sedang dikuasai Istana Selatan.

Sementara itu, Kitabatake Chikafusa dari Istana Selatan berencana untuk mengumpulkan kekuatan militer yang mendukung Istana Selatan di daerah Kanto. Chikafusa dalam keadaan terkepung di Istana Oda, Provinsi Hitachi menulis buku sejarah Jinnō Shōtōki. Isi buku tersebut menyatakan Istana Selatan sebagai pemerintah yang sah. Setelah Kaisar Go-Daigo mangkat pada tahun 1339, Chikafusa berperan sebagai tokoh berpengaruh di Istana Selatan. Setelah Chikafusa tutup usia pada tahun 1354, Istana Selatan kembali mengalami kemunduran.

Setelah kalah dalam konflik internal keshogunan, Hosokawa Kyōji dan Kusunoki Masanori bergabung dengan Istana Selatan. Keduanya berhasil menduduki Kyoto hingga ditaklukkan pada tahun 1367. Sejak itu pula, Istana Selatan tidak lagi memiliki kekuatan militer yang patut diperhitungkan. Sewaktu shogun Ashikaga Yoshiakira berkuasa di Istana Utara, kekuatan militer Istana Selatan sempat mengalami pasang surut di bawah pimpinan Ōuchi Hiroyo dan Yamana Tokiuji. Setelah shogun Yoshiakira wafat, Keshogunan Muromachi mengangkat Ashikaga Yoshimitsu yang masih berusia 11 tahun sebagai Seii Taishogun. Atas petunjuk pejabat kanrei Hosokawa Yoriyuki yang menjadi wakil shogun Yoshimitsu, perlawanan terhadap Istana Selatan terus gencar dilakukan. Termasuk di antaranya membuat panglima Istana Selatan, Kusunoki Masanori (putra Kusunoki Masashige) berada pihak Istana Utara.

Situasi Kyushu dan bersatunya Istana Utara-Selatan

Di Kyushu, perang terus berlanjut antara pasukan Istana Selatan melawan pasukan Istana Utara seperti pasukan pimpinan Isshiki Noriuji dan Niki Yoshinaga yang ditinggalkan Ashikaga Takauji di Kyushu. Kekuatan militer Istana Selatan antara lain diwakili klan Kikuchi yang pernah dikalahkan pihak Ashikaga dalam Pertempuran Tatarahama. Pangeran Kaneyoshi (putra Kaisar Go-Daigo) diutus ke Kyushu untuk memperkuat kedudukan Istana Selatan. Akibatnya terjadi Pertempuran Chikugo yang konon melibatkan 100 ribu prajurit dari kedua belah pihak.

Ketika pecah Kerusuhan zaman Kan-ō, Kyushu berubah menjadi medan perang yang melibatkan tiga belah pihak yang bertikai. Penyebabnya adalah kedatangan Ashikaga Tadafuyu yang melarikan diri ke Kyushu. Pada waktu itu, bajak laut Jepang (wakō) merajalela di sepanjang lepas pantai Semenanjung Korea dan Tiongkok. Setelah berjanji kepada Dinasti Ming untuk mengatasi persoalan bajak laut Jepang, Pangeran Kaneyoshi (Istana Selatan) mendapat pengakuan dari Dinasti Ming sebagai "raja Jepang".

Keshogunan Muromachi (Istana Utara) mengutus Imagawa Sadayo dan pasukannya ke Kyushu untuk menghancurkan Istana Selatan. Pada akhirnya, Ashikaga Tadafuyu menyerah dan Kyushu berada di bawah penguasaan Istana Utara. Setelah Pangeran Kaneyoshi tidak lagi berkuasa di Kyushu, Dinasti Ming mengakui shogun Ashikaga Yoshimitsu sebagai "raja Jepang" yang baru.

Memasuki zaman Kōwa/Eitoku, dan zaman Genchū/Shitoku, Pangeran Kaneyoshi, Kitabatake Akiyoshi, Pangeran Muneyoshi yang merupakan pemimpin berpengaruh dari Istana Selatan tutup usia secara berturut-turut. Kaisar Chōkei yang merupakan tokoh bergaris keras juga mengundurkan diri, sehingga kedudukan Istana Selatan semakin lemah. Sementara itu, Ashikaga Yoshimitsu mengeluarkan peraturan yang membatasi kekuatan militer shugo daimyō. Akibatnya, kekuatan militer yang dimiliki shugo daimyō dalam melawan Istana Utara mulai habis. Kesempatan ini dimanfaatkan shogun Yoshimitsu untuk menjadi juru penengah bagi Istana Utara dan Istana Selatan. Pada tahun 1392, keshogunan menghidupkan kembali sistem Ryōtōtetsuritsu yang memungkinkan kaisar dari masing-masing faksi/garis keturunan dapat naik tahta secara bergantian. Hak kepemilikan tanah pemerintah di seluruh negeri juga diberikan kepada garis keturunan Daikaku-ji. Sebagai balasannya, Kaisar Go-Kameyama (Istana Selatan) mengembalikan Tiga Harta Suci kepada Kaisar Go-Komatsu (Istana Timur). Perdamaian akhirnya tercapai dengan bersatunya Istana Utara dan Istana Selatan.

Pihak Go-Nanchō

Setelah bersatunya Istana Utara-Istana Selatan, perjanjian bahwa kaisar dari masing-masing faksi/garis keturunan dapat naik tahta secara bergantian (sistem Ryōtōtetsuritsu) ternyata tidak dipatuhi Istana Utara. Kaisar yang naik tahta selalu berasal dari faksi Jimyō-in (Istana Utara). Sepanjang periode yang disebut Go-Nanchō (pasca-Istana Selatan) dan berlangsung hingga pertengahan abad ke-15, Istana Selatan terus menerus mengadakan pemberontakan. Sejak tahun 1428, perlawanan Istana Selatan semakin gencar setelah terputusnya garis keturunan Jimyō-in karena tidak lagi memiliki pewaris yang berhak atas tahta.

Pada tahun 1443, pihak Go-Nanchō yang terdiri dari sisa-sisa pengikut Istana Selatan dan bangsawan istana klan Hino menyerang istana kaisar. Penyerbuan tersebut dipimpin dua anggota keluarga Istana Selatan. Dua dari Tiga Harta Suci, yakni permata dan tsurugi (katana) berhasil dirampas. Peristiwa ini disebut Insiden Kinketsu. Keshogunan berhasil merebut kembali tsurugi, namun permata terus berada di bawah kekuasaan Go-Nanchō. Pihak Go-Nanchō menghilang dari peredaran, dan tidak disebut-sebut lagi dalam buku sejarah sejak permata kembali berhasil direbut, dan kakak beradik keturunan Istana Selatan, Pangeran Jiten dan Pangeran Chūgi dibunuh. Pembunuhnya adalah pengikut klan Akamatsu (Istana Utara) yang memendam dendam terhadap Istana Selatan karena pernah dihancurkan pada peristiwa Pemberontakan Kakitsu. Setelah berabad-abad berlalu, Kaisar Meiji akhirnya pada tahun 1911 memutuskan bahwa Istana Selatan adalah pewaris kekuasaan yang sah.

Zaman Sengoku

Zaman Sengoku (戦国時代, sengoku jidai?, zaman negara-negara berperang) (sekitar 1493 - sekitar 1573) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang yang dimulai sekitar tahun 1493 Peristiwa Meiōnoseihen (pergolakan di dalam klan Ashikaga untuk menentukan pewaris jabatan shogun) sampai shogun ke-15 Ashikaga Yoshiaki ditaklukkan oleh Oda Nobunaga yang menandai akhir zaman Muromachi dan mengawali zaman Azuchi Momoyama. Zaman Sengoku adalah akhir dari zaman Muromachi. Ada juga pendapat yang mengatakan zaman Azuchi Momoyama atau disebut juga zaman Shokuhō (織豊時代, shokuhō jidai?, zaman Oda Nobunaga-Toyotomi Hideyoshi) sudah dimulai sejak Oda Nobunaga mulai bertugas di Kyoto sebagai pengikut Ashikaga Yoshiaki.

Zaman Azuchi-Momoyama

Zaman Azuchi-Momoyama (安土桃山時代, azuchi momoyama jidai?) (sekitar tahun 1573 sampai 1603) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang yang dimulai sejak Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi menjadi penguasa Jepang dan berakhir ketika Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan pasukan pendukung Toyotomi Hideyori dalam Pertempuran Sekigahara tahun 1600.

Zaman ini disebut juga zaman Shokuhō (織豊時代, shokuhō jidai?) yang penamaannya diambil dari aksara kanji nama keluarga Oda Nobunaga (織 untuk "Shoku") dan aksara kanji nama keluarga Toyotomi Hideyoshi (豊 untuk "Hō").

Oda Nobunaga tinggal di Istana Azuchi (sekarang Prefektur Shiga) sedangkan Toyotomi Hideyoshi tinggal di Istana Fushimi (Kyoto) yang disebut juga sebagai Istana Momoyama sehingga zaman ini disebut zaman Azuchi-Momoyama. Pusat pemerintahan Toyotomi Hideyoshi berada di Istana Osaka sehingga ada pendapat yang mengatakan zaman kekuasaan Hideyoshi sebenarnya harus disebut sebagai zaman Osaka (大坂時代, ōsaka jidai?).

Pendapat lain mengatakan zaman Azuchi-Momoyama tidak pernah ada pembagian periode dalam sejarah Jepang, zaman Muromachi diikuti zaman Sengoku dan dilanjutkan dengan zaman Edo.

Zaman Edo

Zaman Edo (江戸時代, edo jidai?) (1603 - 1867) adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang yang dimulai sejak shogun pertama Tokugawa Ieyasu mendirikan Keshogunan Tokugawa di Edo yang berakhir dengan pemulihan kekuasaan kaisar (大政奉還, taisei hōkan?) dari tangan shogun terakhir Tokugawa Yoshinobu sekaligus mengakhiri kekuasan Keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun. Zaman Edo juga disebut sebagai awal zaman modern di Jepang.

Akhir Keshogunan Tokugawa

Akhir Keshogunan Tokugawa atau Bakumatsu (幕末, Bakumatsu?) adalah periode antara tahun 1853 - 1867 saat Jepang mengakhiri politik isolasi (鎖国, sakoku?). Bakumatsu dalam bahasa Jepang berarti akhir dari suatu pemerintahan Keshogunan (pemerintahan Bakufu), tapi kemudian berarti akhir dari zaman Edo atau Keshogunan Tokugawa.

Zaman Meiji

Meiji (明治, meiji?) (25 Januari 1868 - 30 Juli 1912) adalah salah satu nama zaman pemerintahan kaisar Jepang sewaktu kaisar Meiji memerintah Jepang, sesudah zaman Keiō (慶応, Keiō?) dan sebelum zaman Taishō (大正, Taishō?).

Restorasi Meiji

Restorasi Meiji (明治維新, Meiji-ishin?), dikenal juga dengan sebutan Meiji Ishin, Revolusi, atau Pembaruan, adalah rangkaian kejadian yang menyebabkan perubahan pada struktur politik dan sosial Jepang. Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir Zaman Edo dan awal Zaman Meiji. Restorasi ini merupakan akibat langsung dari dibukanya Jepang kepada kedatangan kapal dari dunia Barat yang dipimpin oleh perwira angkatan laut asal AS, Matthew Perry.

Pembentukkan Aliansi Sat-cho, yaitu antara Saigo Takamori, pemimpin Satsuma, dengan Kido Takayoshi, pemimpin Choshu, adalah titik awal dari Restorasi Meiji. Aliansi ini dicetuskan oleh Sakamoto Ryoma, dengan tujuan melawan Keshogunan Tokugawa dan mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar.

Keshogunan Tokugawa resmi berakhir pada tanggal 9 November 1867, ketika Shogun Tokugawa ke-15, Tokugawa Yoshinobu "memberikan kekuasaannya ke Kaisar" dan 10 hari kemudian mundur dari jabatannya. Titik ini adalah awal "Restorasi" kekuasaan imperial. Walau begitu, Yoshinobu masih tetap memiliki kekuasaan yang signifikan.

Kemudian pada January 1868, dimulailah Perang Boshin (Perang Tahun Naga), yang diawali Pertempuran Toba Fushimi, dimana tentara yang dipimpin Choshu dan Satsuma mengalahkan tentara mantan shogun, dan membuat Kaisar mencopot seluruh kekuasaan yang dimiliki Yoshinobu. Sejumlah anggota keshogunan melarikan diri ke Hokkaido dan mencoba membuat negara baru, Republik Ezo, tapi usaha ini digagalkan pada penyerbuan Hakodate, Hokkaido. Kekalahan tentara mantan shogun adalah akhir dari Restorasi Meiji; dimana semua musuh kaisar berhasil dihancurkan.

Zaman Taishō

Taishō (大正, Taishō?) (30 Juli 1912 - 24 Desember 1926) adalah salah satu nama zaman pemerintahan kaisar Jepang sewaktu kaisar Taishō memerintah Jepang, sesudah zaman Meiji dan sebelum zaman Shōwa.

Zaman Shōwa

Shōwa (昭和, Shōwa?) (25 Desember 1926 - 7 Januari 1989) adalah salah satu nama zaman pemerintahan kaisar Jepang sewaktu kaisar Shōwa memerintah Jepang. Tahun Shōwa berlangsung hingga tahun 64 Shōwa, walaupun tahun 64 Shōwa hanya berlangsung selama 7 hari.

Heisei

Heisei (平成, Heisei?) adalah nama zaman di Jepang yang dimulai 8 Januari 1989 hingga sekarang.

Pergantian zaman

Heisei sebagai nama zaman yang baru dimulai 8 Januari 1989 setelah Kaisar Akihito naik tahta menggantikan Kaisar Hirohito yang mangkat pada tanggal 7 Januari 1989. Tahun 1989 juga disebut tahun Heisei 1 (平成元年, Heisei gannen?, tahun awal zaman Heisei).

Di siang hari setelah Kaisar Hirohito mangkat, sebuah dewan yang terdiri dari delapan orang ahli dibentuk untuk memutuskan nama zaman berikutnya. Pemerintah mengajukan dan meminta pertimbangan atas 3 buah nama zaman yang baru ke hadapan anggota dewan, dan Ketua/Wakil Ketua Majelis Rendah Jepang serta Majelis Tinggi Jepang. Ketiga nama zaman yang diusulkan adalah Heisei (平成, Heisei?), Shūbun (修文, Shūbun?), dan Seika (正化, Seika?). Sejak sebelum diajukan, "Shūbun" dan "Seika" kemungkinan besar tidak akan digunakan sebagai nama zaman yang baru, karena keduanya dimulai dengan huruf "S". Sesudah zaman Shōwa perlu dipilih nama zaman dengan huruf awal yang berbeda, karena penulisan angka tahun pada zaman Shōwa sudah dimulai dengan huruf "S", misalnya S63 berarti tahun 1988.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "Zaman Jepang"